Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Maret 2012

Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum


Prinsip menjadi pedoman untuk mengarahkan kegiatan orang yang bekerja di daerah tertentu. Prinsip kurikulum berasal dari berbagai sumber yaitu data empiris, data eksperimental,  cerita rakyat yang mengandung keyakinan kebenarannya dan sikap, dan akal sehat. Dalam pengembangan kurikulum ada beberapa dalil yang mendasarinya, yaitu :

  1. Perubahan kurikulum tidak bisa dihindari. Perubahan tidak terelekkan dan itu diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan kehidupan. Lembaga pendidikan juga ikut tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuan mereka untuk menanggapi perubahan dan beradaptasi dengan perubahan itu.
  2. Kurikulum sebagai produk dari waktu. Dalil ini merupakan akibat dari dalil pertama. Secara sederhana sebuah kurikulum sekolah tidak hanya mencerminkan perubahan yang terjadi pada waktu itu, tetapi juga merupakan produk dari waktu itu. 
  3. Perubahan yang Simultan. Revisi kurikulum tidak dimulai dan diakhiri secara tiba-tiba. Revisi ini dilakukan secara bertahap dari waktu kewaktu hingga mengakibatkan kurikulum berubah terus-menerus.
  4. Kurikulum merupakan hasil perubahan manusia. Pengembangan kurikulum dimulai dengan upaya mengubah manusia yang pada akhirnya akan berpengaruh pada perubahan kurikulum. Upaya ini menyiratkan orang-orang yang terlibat dalam proses pengembangan kurikulum mempunyai kometmen bahwa mereka harus berubah pula.
  5. Pengembangan kurikulum merupakan kegiatan bersama dalam kelompok. Guru dan ahli kurikulum merupakan kelompok inti pengembangan kurikulum. Mereka bekerja dibawah arahan administrator sekolah. Orang tua dan siswa kadang kala diikutsertakan dalam pengembangan kurikulum. Hal ini menunjukkan  pengembangan kurikulum merupakan usaha bersama di dalam masyarakat sekolah. 
  6. Pengembangan kurikulum pada dasarnya adalah proses pengambilan keputusan. Perencana kurikulum bekerja sama dengan mereka yang terlibat harus membuat berbagai keputusan, termasuk diantaranya: pemilihan disiplin ilmu, pemilihan kelompok, pemilihan metode, pemilihan strategi, pemilihan alat dan sumber belajar, dan lain-lain. Pemilihan keputusan ini tidak selamanya akan berhasil, namun yang paling diharapkan bahwa keputusan yang dibuat menunjukkan keberhasilan dalam belajar. 
  7. Proses yang terus-menerus. Pengembangan kurikulum merupakan proses yang tidak pernah berakhir. Kesempurnaan dalam kurikulum tidak pernah akan diperoleh. Kurikulum selalu dapat ditingkatkan dan solusi yang lebih baik selalu dapat ditemukan.
  8. Pengembangan kurikulum adalah proses yang komprehensif. Pengembangan kurikulum yang tanpa perencanaan akan menyebabkan kurikulum tersebut kehilangan keterpaduannya. Dengan demikian pengembangan kurikulum merupakan proses yang menyeluruh.
  9. Pengembangan kurikulum secara sistematik. Pengembangan kurikulum yang sistematik akan lebih efektif dari pada coba-coba. Pengembangan kurikulum yang ideal harus dibuat komprehensif dengan melihat seluruh bagian dan harus dibuat sistematik dengan mengikuti serangkaian prosedur yang ditetapkan. Prosedur dibuat dan disepakati oleh semua orang yang terlibat dan berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum. 
  10. Dimulai dari kurikulum yang ada. Pengembangan kurikulum memerlukan waktu untuk menguji dan merefleksinya, oleh karena itu pengembangan kurikulum tidak bisa dimulai dari nol. Ia harus dikembangkan dari kurikulum yang dipakai saat itu. 
Kurikulum yang digunakan di Indonesia saat ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ).  Pengembangan KTSP mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Untuk itu prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan KTSP meliputi :

  1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.
  2. Beragam dan terpadu. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antar substansi. 
  3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
  4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan   melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan  kemasyarakatan, dunia usaha dan  dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi,  keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional.
  5. Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi,   bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan. 
  6. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal  dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
  7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.  Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan nasional dan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan  Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Selasa, 27 Desember 2011

Belajar dan Pembelajaran


Belajar atau pembelajaran mengacu pada satu istilah yang sama dalam bahasa Inggris, yaitu learning. Belajar dapat diartikan sebagai suatu perubahan perilaku yang bertahan lama, atau kapasitas berperilaku dengan cara tertentu, yang merupakan hasil dari kebiasaan atau pengalaman dalam bentuk yang lain (Schunk, 2008:2). Slameto (2010:2) mengartikan belajar sebagai suatu usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. Belajar dapat juga diartikan sebagai perubah perilaku atau potensi perilaku yang relatif permanen yang berasal dari pengalaman dan tidak dapat dinisbahkan ke keadaan temporer seperti keadaan yang disebabkan oleh sakit, keletihan atau obat-obatan (Hergenhahn dan Olson, 2009:8). Jadi belajar terjadi bila pengalaman menyebabkan perubahan pengetahuan atau perilaku seseorang.
Secara sederhana pembelajaran dapat juga diartikan sebagai produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan pengalaman hidup (Trianto, 2010:17). Dalam makna yang lebih kompleks, hakekat pembelajaran adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan peserta didiknya (mengarahkan interaksi peserta didik dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Jadi, pembelajaran merupakan interaksi antara pengajar dan yang diajar yang diantara keduanya terjadi komunikasi yang intens dan terarah untuk mencapai target yang telah ditetapkan sebelumnya.
Ada enam ciri perubahan perilaku dalam pengertian belajar (Slameto, 2010:3), yaitu:
  1. Perubahan terjadi secara sadar. Maksudnya, peserta didik yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan perilakunya. Paling tidak dia merasakan telah terjadi suatu perubahan dalam dirinya.
  2. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional. Dalam hal ini peserta didik yang telah mendapat belajar suatu hal/konsep dapat menggunakan pengalamannya itu untuk belajar hal/konsep yang lain. Atau ia dapat meningkatkan kecakapannya dalam hal/konsep tersebut sehingga ia semakin baik atau sempurna.
  3. Perubahan dalam pembelajaran bersifat positif dan aktif. Perubahan-perubahan yang terjadi selama belajar senantiasa bertambah baik dari sebelumnya. Sehingga semakin banyak usaha untuk belajar semakin baik pula perubahan yang terjadi. Perubahan tersebut juga bersifat aktif, artinya perubahan tidak terjadi dengan sendirinya melainkan karena usaha peserta didik itu sendiri.
  4. Perubahan dalam belajar bersifat permanen dan bukan bersifat sementara. Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap atau permanen, maksudnya bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap. Perubahan yang bersifat sementara atau temporer, seperti berkeringat, menangis dan sejenisnya tidak dapat digolongkan sebagai perubahan dalam arti belajar.
  5. Perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah. Ini artinya perubahan perilaku yang terjadi karena adanya tujuan yang ingin dicapai oleh peserta didik. Dengan demikian perbuatan belajar yang dia lakukan senantiasa diarahkan pada tingkah laku yang ingin dia capai.
  6. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku. Perubahan yang diperoleh peserta didik setelah melalui proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku peserta didik tersebut. Jika peserta didik mengalami belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap, keterampilan, pengetahuan dan sebagainya. 

Kemampuan belajar peserta didik sangat menentukan keberhasilannya dalam proses belajar. Banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan belajar peserta didik ini, diantaranya adalah motivasi, sikap, minat, kebiasaan belajar dan konsep diri (Djaali, 2009:101).
Ada dua subjek yang terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu guru dan peserta didik. Diharapkan terjadi perubahan dalam diri peserta didik sebagai hasil dari kegiatan pembelajaran. Perubahan tersebut bersifat non-fisik seperti perubahan sikap, pengetahuan dan kecakapan peserta didik (Eko Putro Widoyoko, 2011:25).
Berbagai perubahan dalam diri peserta didik sebagai hasil proses pembelajaran dapat dikelompokan dalam dua katagori yaitu output dan outcome. Output merupakan kecakapan yang dikuasai peserta didik yang dapat segera diketahui setelah peserta didik mengikuti serangkaian proses pembelajaran. Ada juga yang mengatakan output merupakan hasil pembelajaran yang bersifat jangka pendek. Adapun yang disebut outcome merupakan hasil pembelajaran yang bersifat jangka panjang. Outcome ini menunjukkan prestasi sosial peserta didik peserta didik menguasai kecakapan-kecakapan yang diajarkan. Kecakapan akademik merupakan salah satu bentuk kecakapan yang termasuk dalam output pembelajaran. Dalam taksonomi Bloom, kecakapan akademik ini termasuk dalam ranah kognitif.

Selasa, 13 Desember 2011

Evaluasi Sarana dan Prasarana


A. Perencanaan Sarana dan Prasarana  
Perencanaan sarana dan prasarana persekolahan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses perkiraan secara matang rancangan pembelian, pengadaan, rehabilitasi, distribusi atau pembuatan peralatan dan perlengkapan yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. 
Tujuan perencanaan sarana prasarana adalah  untuk menghindari berbagai kesalahan yang mungkin terjadi seperti pengadaan  sarana prasarana yang  belum/tidak dibutuhkan atau  spesifikasi alat / bahan yang jauh dari yang diharapkan. Perencanaan juga dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan pengawasan, pengendalian dan evaluasi agar nantinya kegiatan dapat berjalan efektif dan efisien.
Secara singkat, perencanaan sarana prasarana sekolah dilakukan dengan tahap-tahap:
1. Identifikasi dan menganalisis kebutuhan sekolah
2. Inventarisasi sarana prasarana yang sudah ada
3. Mengadakan seleksi, yang  meliputi penyusunan konsep program (ada penanggung jawab, kegiatan yang konkrit, target terukur, batas waktu, pengalokasian dana) dan dan pendataan (jenis barang, jumlah barang, spesifikasi barang).

B. Pengadaan Sarana dan Prasar ana
Pengadaan sarana prasarana sekolah  merupakan segala kegiatan yang dilakukan dengancara menyediakan semua keperluan barang atau jasa berdasarkan hasil perencanaan dengan maksud untuk menunjang kegiatan pembelajaran agar berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Beberapa cara pengadaan sarana prasarana sekolah adalah sebagai berikut:
1. Pembelian
2. Pembuatan sendiri
3. Penerimaan hibah atau bantuan
4. Penyewaan
5. Pinjamana
6. Pendaurulangan
7. Penukaran
8. Perbaikan atau rekondisi

C. Pengelolaan Sarana dan Prasarana
Sarana prasarana yang telah dimiliki sekolah memerlukan pengelolaan yang baik agar penggunaannya menjadi efektif efisien serta menjamin berjalannya proses pemeliharaan dan inventarisasi yang terukur. Usaha-usaha tersebut dapat menjadikan sarana prasarana yang ada menjadi selalu dalam keadaan baik, siap digunakan, dan memiliki jangka waktu pemakaian yang panjang. 
Pada dasarnya pengelolaan sarana prasarana sekolah meliputi: pemanfaatan kegiatan pemeliharaan, inventarisasi,  dan penghapusan barang. 

D. Evaluasi Sarana dan Prasarana  
Pemaparan evaluasi sarana prasarana pada makalah ini ditekankan pada  pemenuhan standar sarana prasarana sesuai peraturan menteri pendidikan nasional nomor 24 tahun 2007 tentang standar sarana dan prasarana  untuk sekolah dasar/madrasah  ibtidaiyah  (sd/mi), sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (smp/mts), dan  sekolah  menengah  atas/madrasah aliyah (sma/ma). Pada pasal 1 ayat (1) tertera: 
Standar sarana dan prasarana untuk sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs), dan sekolah menengah atas/madrasah aliyah (SMA/MA) mencakup  kriteria minimum sarana dan kriteria minimum prasarana.   

Penjelasan kriteria minimum sarana dan kriteria minimum prasarana terdapat pada lampiran permendiknas no. 24 tahun 2007  tersebut. 
Pelaksanaan evaluasi sarana prasarana sekolah saat ini cukup dipermudah dengan tersedianya format evaluasi yang dikeluarkan beberapa lembaga seperti BAN-S/M (Badan Akreditasi Nasional-Sekolah/Madrasah) dan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah  dalam program pengembangan Sekolah Standar Nasional. 
Pelaksana evaluasi sarana prasarana dapat dilakukan sendiri oleh pihak sekolah. Ini dikenal juga dengan istilah evaluasi diri. Dengan melakukan evalusi diri, sekolah dapat melihat secara jelas berbagai kondisi sesungguhnya dari sarana prasarana sekolah, apa kelebihan dan kekurangan yang mungkin ada. Selanjutnya sekolah dapat mengambil keputusan untuk tindak lanjut hasil evaluasi tersebut, berkenaan dengan penambahan sarana prasarana, pemeliharaan maupun pemanfaatan sarana prasarana yang telah ada. Pelaksana evaluasi juga dapat dilakukan oleh badan pemerintah yang ditunjuk seperti BAN-S/M. Evaluasi ini lebih bertujuan pada kebutuhan akreditasi sekolah dan melihat posisi sekolah dalam level kemajuan yang telah dicapai untuk memenuhi standar nasional pendidikan. Untuk sekolah yang sudah maju dimungkinkan juga memanfaatkan lembaga eksternal yang dianggap memiliki kapabilitas sebagai asesor seperti lembaga penyedia ISO. 
Secara ringkas pelaksanaan evaluasi sarana prasarana sekolah dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Menginventarisasi keberadaan sarana dan prasarana yang ada di sekolah, baik dalam hal kondisi, jumlah, spesifikasi, maupun data lain yang diperlukan.
  2. Mengumpulkan data pendukung yang diperlukan seperti tanggal pengadaan, sumber pengadaan ataupun tanggapan pengguna sarana prasarana
  3. Mengisi formulir evaluasi yang tersedia sesuai dengan kondisi yang sebenarnya
  4. Merakapitulasi hasil evaluasi, baik data kualitatif maupun kuantitatif
  5. Menarik kesimpulan mengenai keseluruhan sarana prasarana sekolah, apakah sudah memenuhi standar minimal atau belum. 
  6. Melaporkan hasil evaluasi kepada pihak-pihak yang memerlukan


Minggu, 30 Oktober 2011

Contoh Soal Kimia menurut Taksonomi Bloom yang Baru


Berikut ini adalah contoh soal untuk ranah kognitif yang ditujukan untuk assessment formatif.
1. Pengetahuan
Indikator:
Siswa dapat menyebutkan pengertian dari asam dan basa menurut Arrhenius.
Soal:
Menurut Arrhenius, suatu zat dapat dikatakan asam apabila ... dan disebut basa apabila ....

2. Pemahaman
Indikator:
Siswa dapat menunjukkan jenis larutan berdasarkan pada daya hantar listriknya.
Soal :
Berikut data hasil pengujian daya hantar listrik terhadap beberapa larutan.
Larutan       Nyala lampu      Gelembung gas
1                    Menyala terang        Ada
2                    Tidak menyala         Ada
3                    Tidak menyala         Tidak ada
4                    Tidak menyala         Tidak
5               Menyala redup         Ada
Pasangan larutan elektrolit lemah adalah...
A. 1 dan 2
B. 1 dan 5
C. 2 dan 3
D. 2 dan 5
E. 3 dan 4

3. Penerapan
Indikator :
Siswa dapat menghitung pH suatu larutan berdasarkan kemolaran dan rumus molekulnya.
Soal :
Berapakah pH dari larutan NaOH 0,1 M?

4. Analisa
Indikator :
Siswa dapat menganalisis tabel pengamatan pH larutan untuk menentukan larutan mana yang termasuk larutan penyangga.
Soal :
Seorang siswa melakukan percobaan di laboratorium tentang pH beberapa larutan. Pada percobaan tersebut, siswa itu memasukkan 10 ml larutan P kedalam 3 tabung reaksi yang berbeda dan ketiganya diukur pH larutannya. Selanjutnya pada tabung pertama ditambahkan 1 ml larutan asam, pada tabung kedua dimasukkan 1 ml larutan basa dan pada tabung ketiga dimasukkan 1 ml air. Setelah itu diukur kembali pH ketiga larutan. Prosedur yang sama dilakukan juga pada larutan Q, R, S dan T. Sehingga diperoleh data sebagai berikut:
Larutan  pH mula-mula  pH penambahan asam  pH penambahan basa  pH penambahan air
P             5,00                 2,00                                 12,00            5,00
Q         5,00                 5,00                                   5,00            5,00
R         9,00                 2,00                                 12,00            8,00
S         7,00                 5,50                                 12,50            6,00
T         6,00                 4,50                                   8,50            6,00
Berdasarkan data pengamatan di atas, larutan manakan yang merupakan larutan penyangga?
A. P
B. Q
C. R
D. S
E. T

5. Penilaian
Indikator :
Siswa dapat memprediksi zat cair yang larut dalam air atau minyak tanah berdasarkan prinsip “like dissolve like.”
Soal :
Misalkan Anda memiliki 1-oktanol dan metanol. Manakah yang akan larut dalam air dan manakah yang larut dalam minyak tanah? Jelaskan jawaban anda dari segi “like dissolve like.”

6. Sintesis
Indikator :
Siswa dapat menghubungkan konsep asam basa dengan kejadian sehari-hari.
Soal :
Berikut ini adalah bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat kue Buttermilk Blueberry Muffins.
2,5 mangkok tepung
1,5 sendok teh baking powder
0,5 sendok teh baking soda
0,5 mangkok gula
0,5 sendok teh garam
2 buah telur dikocok
1 mangkok dadih
3 ons mentega
1,5 mangkok blueberry (penambah rasa)
Disini ada dua sumber asam dan dua sumber hidrogen karbonat yang bila direaksikan akan menghasilkan gas CO2 yang akan membuat muffin mengembang. Manakah dari kedua sumber tersebut?


7. Imajinasi
Indikator :
Siswa dapat meramalkan bentuk molekul berdasarkan rumus molekulnya.
Soal :
Senyawa amonia memiliki rumus molekul NH3. Bagaimanakah bentuk molekul amonia tersebut?

8. Kreasi
Indikator :
Siswa dapat memrancang percobaan dengan menggunakan bahan-bahan yang terdapat di alam sebagai indikatornya.
Soal :
Beberapa tumbuhan di alam dapat digunakan sebagai indikator asam-basa, seperti kembang sepatu, kunyit, dan kol. Rancanglah sebuah percobaan penentuan asam basa dengan menggunakan bahan-bahan yang terdapat di alam sebagai indikatornya.

Pengembangan Taksonomi Bloom

Pada dekade 50an, Bloom memperkenalkan taksonomi dalam dunia pendidikan. Menurut Bloom tujuan pendidikan dibagi atas tiga daerah, yaitu daerah kognitif, afektif dan psikomotor. Ranah kognitif berisikan perilaku-perilaku yang menekankan pada segi intelektual seperti pengetahuan, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Ranah afektif berisikan perilaku-perilaku yang menekankan pada sisi perasaan dan emosi seperti penerimaan, tanggapan, penghargaan, pengorganisasian dan karakter nilai-nilai. Ranah psikomotor berisikan perilaku-perilaku yang menekankan pada aspek keterampilan motorik seperti persepsi, kesiapan, respon, mekanisme, penyesuaian dan penciptaan.
Dalam perkembangan tahun-tahun berikutnya taksonomi Bloom ini mengalami perkembangan baik dalam jumlah fase ataupun jumlah ranah. Salah satunya yang dikembangkan oleh Peggy Dettmer pada tahun 2006. Dettmer menyatakan ada 5 domain dalam tujuan pendidikan, yaitu kognitif (cognitive), affective (afektif), sensormotorik (sensorimotor), sosial (social) dan kesatuan (unified). Domain kesatuan merupakan hasil penggabungan dari keempat domain sebelumnya. Proses yang terjadi pada masing-masing domain adalah berpikir (kognitif), rasa (afektif), perasaan dan gerak (sensormotorik), interaksi (sosial) dan melakukan (kesatuan). Konten tiap domain meliputi intelektual (kognitif), emosi (afektif), fisik (sensormotorik), sosiokultural (sosial) dan holistik (kesatuan). Fungsi tiap domain adalah memperluas pikiran (kognitif), meningkatkan perasaan (afektif), mengolah indra dan gerak (sensomotorik), memperkaya hubungan (sosial) dan optimalisasi potensi (kesatuan). Adapun tujuan tiap domain, yaitu untuk meningkatkan pengetahuan (kognitif), untuk mengembangkan pemahaman diri (afektif), untuk memelihara ekspresi diri, untuk menumbuhkan sosialiasi (sosial) dan kesemuanya bertujuan untuk mewujudkan pemenuhan diri (kesatuan)
Setiap domain dibagi atas 6 fase dimana keenam fase tersebut dikelompokkan dalam 3 kelompok besar. Ketiga kelompok itu adalah Pembelajaran dasar (basic learning) dengan ciri realisme (apa yang harus peserta didik ketahui), penerapan pembelajaran (applied learning) yang dicirikan pragmatisme (apa yang peserta didik lakukan), dan penggambaran pembelajaran (ideational learning) yang berkarakteristik idealisme (apa yang dicita-citakan peserta didik). 
Fase-fase dalam domain kognitif adalah mengetahui (know), memahami (comprehend), penerapan (apply), analisis (analyze), evaluasi (evaluate), sintesis (synthesize), imajinasi (imagine) dan penciptaan (create). Pada domain afektif, fase-fasenya menerima (receive), menanggapi (respond), nilai (value), mengatur (organize) menginternalisasi (internalize), karakterisasi (characterize), keajaiban (wonder) dan cita-cita (aspire). Fase-fase dalam domain sensormotorik adalah mengamati (observe), meraih (react), bertindak (act), menyesuaikan (adapt), membuktikan (authenticate), menyelaraskan (harmonize(, berimprovisasi (improvise) dan berinovasi (innovate). Dalam domain sosial fasenya meliputi menghubungkan (relate), berkomunikasi (communicate), berpartisipasi (participate), berunding (negotiate), mengadili (adjudicate), berkolaborasi (collaborate), memprakarsai (initiate) dan mengubah (convert). Semua fase tersebut digabungkan dalam domain kesatuan menjadi mempersepsi (perceive), memahami (understand), menggunakan (use), membedakan (differentiate), mengesahkan (validate), mengintegrasikan (integrate), usaha (venture) dan berasal (originate).

Sumber: Dettmer, Peggy. (2006). New Blooms in Established Fields: Four Domains of Learning and Doing. Roeper Review vol 28 no.2.

Selasa, 18 Oktober 2011

Tipe Belajar Kognitif


a. Tipe hasil belajar: Pengetahuan 
Istilah pengetahuan dimaksudkan sebagai terjemahan dari kata knowledge dalam taksonomi Bloom. Sekalipun demikian, maknanya tidak sepenuh-nya tepat sebab dalam istilah tersebut termasuk pula pengetahuan faktual di samping pengetahuan hafalan atau untuk diingat seperti rumus, batasan, definisi, istilah, pasal dalam undang-undang, nama-nama tokoh, nama-nama kota. Dilihat dari segi proses belajar, istilah-istilah tersebut memang perlu dihafal dan diingat agar dapat dikuasainya sebagai dasar bagi pengetahuan atau pemahaman konsep-konsep lainnya. 
Ada beberapa cara untuk dapat mengingat dan menyimpannya dalam ingatan seperti teknik memo, jembatan keledai, mengurutkan kejadian, membuat singkatan yang bermakna. Tipe hasil belajar pengetahuan termasuk kognitif tingkat rendah yang paling rendah. Namun, tipe hasil belajar ini menjadi prasarat bagi tipe hasil belajar berikutnya. Hafal menjadi prasyarat bagi pemahaman. Hal ini berlaku bagi semua bidang studi, baik bidang matematika, pengetahuan alam, ilmu sosial, maupun bahasa. Misalnya hafal suatu rumus akan menyebabkan paham bagaimana menggunakan rumus tersebut; hafal kata-kata akan memudahkan membuat kalimat. 
Menyusun item tes pengetahuan hafalan 
Tidaklah terlalu sukar untuk menyusun item tipe ini. Malahan para penyusun tes hasil belajar, secara tidak sengaja banyak tergelincir atau terperosok masuk ke dalam kawasan ini. Dilihat dari segi bentuknya, tes yang paling banyak dipakai untuk mengungkapkan aspek pengetahuan adalah tipe melengkapi, tipe isian, dan tipe benar-salah. Karena lebih mudah menyusunnya, orang banyak memilih tipe benar-salah, 
Karena kurang dipersiapkan dengan baik, banyak item tes yang ditulis secara tergesa-gesa sehingga terperosok ke dalam pengungkapan pengetahuan hafalan saja. Aspek yang ditanyakan biasanya fakta- fakta seperti nama orang, tempat, teori, rumus, istilah batasan, atau hukum. Siswa hanya dituntut kesanggupan mengingatnya sehingga jawabannya mudah ditebak. 

b. Tipe hasil belajar: Pemahaman 
Tipe hasil belajar yang lebih tinggi daripada pengetahuan adalah pemahaman. Misalnya menjelaskan dengan susunan kalimatnya sendiri sesuatu yang dibaca atau didengarnya, memberi contoh lain dari yang telah dicontohkan, atau rnenggunakan petunjuk penerapan pada kasus lain. Dalam taksonomi Bloom, kesanggupan memahami setingkat lebih tinggi daripada pengetahuan. Namun, tidaklah berarti bahwa pengetahuan tidak perlu ditanyakan sebab, untuk dapat memahami, perlu terlebih dahulu mengetahui atau mengenal. 
Pemahaman dapat dibedakan ke dalam tiga kategori. 
  1. Tingkat terendah adalah pemahaman terjemahan, mulai dari terjemahan dalam arti yang sebenarnya, misalnya dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, mengartikan Bhineka Tunggal Ika, mengartikan Merah Putih, menerapkan prinsip-prinsip listrik dalam memasang sakelar.
  2. Tingkat kedua adalah pemahaman penafsiran, yakni menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan yang diketahui berikutnya, atau menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan kejadian, mernbedakan yang pokok dan yang bukan pokok. Menghubungkan pengetahuan tentang konjugasi kata kerja, subjek, dan possesive pronoun sehingga tahu menyusun kalimat "My friend is studying," bukan "My friend studying," merupakan contoh pemahaman penafsiran. 
  3. Pemahaman tingkat ketiga atau tingkat tertinggi adalah pemahaman ekstrapolasi. Dengan ekstrapolasi diharapkan seseorang mampu melihat di balik yang tertulis, dapat membuat ramalan tentang konsekuensi atau dapat memperluas presepsi dalam arti waktu, dimensi, kasus, ataupun masalahnya. 

Meskipun pemahaman dapat dipilahkan menjadi tiga tingkatan di atas, perlu disadari bahwa menarik garis yang tegas antara ketiganya tidaklah mudah. Penyusun tes dapat membedakan item yang susunannya termasuk sub-kategori tsb., tetapi tidak perlu berlarut-larut mernpermasalahkan ketiga perbedaan itu. Sejauh dengan mudah dapat dibedakan antara pemahaman terjemahan, penafsiran, dan ekstrapolasi, bedakanlah untuk kepentingan penyusunan soal tes hasil belajar. 
Menyusun item tes pemahaman 
Karakteristik soal-soal pemahaman sangat mudah dikenal. Misalnya mengungkapkan tema, topik, atau masalah yang sama dengan yang pernah dipelajari atau diajarkan, tetapi materinya, berbeda. Mengungkapkan tentang sesuatu dengan bahasa sendiri dengan simbol tertentu termasuk ke dalam pemahaman terjemahan. Dapat menghubungkan hubungan antar- 
unsur dari keseluruhan pesan suatu karangan termasuk ke dalam pemahaman penafsiran. Item ekstrapolasi mengungkapkan kemampuan di balik pesan yang tertulis dalam suatu keterangan atau tulisan. 
Membuatkan contoh item pemahaman tidaklah mudah. Cukup banyak contoh item pemahaman yang harus diberi catatan atau perbaikan sebab terjebak ke dalam item pengetahuan. Sebagian item pemahaman dapat disajikan dalam gambar, denah, diagram, atau grafik. Dalam tes objektif, tipe pilihan ganda dan tipe benar-salah banyak mengungkapkan aspek pemahaman. 

c. Tipe hasil belajar: Aplikasi 
Aplikasi adalah penggunaan abstraksi pada situasi kongkret atau situasi khusus. Abstraksi tersebut mungkin berupa ide, teori, atau petunjuk teknis. Menerapkan abstraksi ke dalam situasi .baru disebut aplikasi. Mengulang-ulang menerapkannya pada situasi lama akan beralih menjadi pengetahuan hafalan atau keterampilan. Suatu situasi akan tetap dilihat sebagai situasi baru bila tetap terjadi proses pemecahan masalah. Kecuali itu, ada satu unsur lagi yang perlu masuk, yaitu abstraksi tersebut perlu berupa prinsip atau generalisasi, yakni sesuatu yang urn urn sifatnya untuk diterapkan pada situasi khusus. 
Karena situasi itu lokal sifatnya dan mungkin pula subjektif, maka tidak mustahil bahwa isi suatu item itu baru bagi banyak orang, tetapi sesuatu yang sudah dikenal bagi beberapa orang tertentu. Mengetengahkan problem baru hendaknya lebih didasarkan atas realitas yang ada di masyarakat atau realitas yang ada dalam teks bacaan. Problem baru yang diciptakan sendiri oleh penyusun tes tidak mustahil naif karena dimensi yang dicakup terlalu sederhana. 
Prinsip merupakan abstraksi suatu proses atau suatu hubungan mengenai kebenaran dasar atau hukum umum yang berlaku di bidang ilmu tertentu. Prinsip mungkin merupakan suatu pernyataan yang berlaku pada sejumlah besar keadaan, dan mungkin pula merupakan suatu deduksi dari suatu teori atau asumsi. 
Generalisasi merupakan rangkuman sejumlah informasi atau rangkuman sejumlah hal khusus yang dapat dikenakan pada hal khusus yang baru. Membedakan prinsip dengan generalisasi tidak selalu mudah, dan akan lebih mudah dijelaskan dalam konteks cabang ilmu masing-masing. 
Mengetes aplikasi 
Bloom membedakan delapan tipe aplikasi yang akan dibahas satu per satu dalam rangka menyusun item tes tentang aplikasi. 
  1. Dapat menetapkan prinsip atau generalisasi yang sesuai untuk situasi baru yang dihadapi. Dalam hal ini yang bersangkutan belum diharapkan dapat memecahkan seluruh problem, tetapi sekadar dapat menetapkan prinsip yang sesuai. 
  2. Dapat menyusun kembali problemnya sehingga dapat menetapkan  prinsip atau generalisasi mana yang sesuai. 
  3. Dapat memberikan spesifikasi batas-batas relevansi suatu prinsip atau generalisasi. 
  4. Dapat mengenali hal-hal khusus yang terpampang dari prinsip dan  generalisasi. 
  5. Dapat menjelaskan suatu gejala baru berdasarkan prinsip dan generalisasi tertentu. Bentuk yangbanyak dipakai adalah melihat hubungan sebab-akibat. Bentuk lain ialah dapat menanyakan tentang proses terjadinya atau kondisi yang mungkin berperan bagi terjadinya gejala. 
  6. Dapat meramalkan sesuatu yang akan terjadi berdasarkan prinsip dan generalisasi tertentu. Dasar untuk membuat ramalan diharapkan dapat ditunjukkan berdasarkan perubahan kualitatif, mungkin pula berdasarkan perubahan kuantitatif. 
  7. Dapat menentukan tindakan atau keputusan tertentu dalam menghadapi situasi baru dengan menggunakan prinsip dan generalisasi yang relevan. Kemampuan aplikasi tipe ini lebih banyak diperlukan oleh ahli-ahli ilmu sosial dan para pembuat keputusan. 
  8. Dapat menjelaskan alasan menggunakan prinsip dan generalisasi bagi situasi baru yang dihadapi. 


d. Tipe hasil belajar: Analisis 
Analisis adalah usaha memilah suatu integritas menjadi unsur-unsur atau bagian-bagian sehingga jelas hierarkinya dan atau susunannya. Analisis merupakan kecakapan yang kompleks, yang memanfaatkan kecakapan dari ketiga tipe sebelumnya. Dengan analisis diharapkan seseorang mernpunyai pemahaman yang komprehensif dan dapat memilahkan integritas menjadi bagian-bagian yang tetap terpadu, untuk beberapa hal memahami prosesnya, untuk hal lain memahami cara bekerjanya, untuk hal lain lagi memahami sisternatikanya. 
Bila kecakapan analisis telah dapat berkembang pada seseorang, maka ia akan dapat mengaplikasikannya pada situasi baru secara kreatif. 
Mengetes kecakapan analisis 
Untuk membuat item tes kecakapan analisis perlu mengenal berbagai kecakapan yang termasuk klasifikasi analisis, yakni: 
  1. Dapat mengklasifikasikan kata-kata, frase-frase, atau pertanyaan-pertanyaan dengan menggunakan kriteria analitik tertentu. 
  2. Dapat meramalkan sifat-sifat khusus tertentu yang tidak disebutkan secara jelas. 
  3. Dapat meramalkan kualitas, asumsi, atau kondisi yang implisit atau yang perlu ada berdasarkan kriteria dan hubungan materinya. 
  4. Dapat mengetengahkan pola, tata, atau pengaturan materi dengan menggunakan kriteria seperti relevansi, sebab-akibat, dan peruntutan. 
  5. Dapat mengenal organisasi, prinsip-prisip organisasi, dan pola-pola materi yang dihadapinya. 
  6. Dapat meramalkan sudut pandangan, kerangka acuan, dan tujuan materia yang dihadapinya. 


e. Tipe hasil belajar: Sintesis 
Penyatuan unsur-unsur atau bagian-bagian ke dalam bentuk menyeluruh disebut sintesis. 
Berpikir .berdasar pengetahuan hafalan, berpikir pemahaman, berpikir aplikasi, dan berpikir analisis dapat dipandang sebagai berpikir konvergen yang satu tingkat lebih rendah daripada berpikir devergen. Dalam berpikir konvergen, pemecahan atau jawabannya akan sudah diketahui berdasarkan yang sudah dikenalnya. 
Berpikir sintesis adalah berpikir divergen. Dalam berpikir divergen pemecahan atau jawabannya belum dapat dipastikan. Mensintesiskan unit-unit tersebar tidak sama dengan mengumpulkannya ke dalam satu kelompok besar. Mengartikan analisis sebagai memecah integritas menjadi bagian-bagian dan sintesis sebagai menyatukan unsur-unsur menjadi integritas perlu secara hati-hati dan penuh telaah. 
Berpikirsintesis merupakan salah satu terminal untuk menjadikan orang lebih kreatif. Berpikir kreatif merupakan salah satu hasil yang hendak dicapai dalam pendidikan. Seseorang yang kreatif sering menemukan atau menciptakan sesuatu. Kreativitas juga beroperasi dengan cara berpikir divergen. Dengan kemampuan sintesis, orang mungkin menernukan hubungan kausal atau urutan tertentu, atau menemukan abstraksinya atau operasionalnya. 
Mengetes kecakapan sintesis 
Kecakapan sintesis dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe. 
  1. Kecakapan sintesis yang pertama adalah kemampuan menemukan hubungan yang unik. Artinya, menemukan hubungan antara unit-unit yang tak berarti dengan menambahkan satu unsur tertentu, unit-unit tak berharga menjadi sangat berharga. Termasuk ke dalam kecakapan ini adalah kemampuan mengomunikasikan gagasan, perasaan, dan pengalaman dalam bentuk tulisan, gambar, simbol ilmiah, dan yang lainnya. 
  2. Kecakapan sintesis yang kedua ialah kemampuan menyusun rencana atau langkah-langkah operasi dari suatu tugas atau problem yang diketengahkan. Dalam rapat berrnunculan berbagai hal. Seorang anggota rapat mengusulkan langkah-langkah urutan atau tahap-tahap pembahasan dan penyelesaiannya. Hal itu merupakan usaha sintesis tipe kedua. 
  3. Kecakapan sintesis yang ketiga ialah kemampuan mengabstraksikan sejumlah besar gejala, data, dan hasil observasi menjadi terarah, proporsional, hipotesis, skema, model, atau bentuk-bentuk lain. 


f. Tipe hasil belajar: Evaluasi 
Evaluasi adalah pemberian keputusan tentang nilai sesuatu yang mungkin dilihat dari segi tujuan, gagasan, cara bekerja, pemecahan, metode, materil, dll. Dilihat dari segi tersebut maka dalam evaluasi perlu adanya suatu kriteria atau standar tertentu. Dalam tes esai, standar atau kriteria tersebut muncul dalam bentuk frase "menurut pendapat Saudara" atau  "menurut teori tertentu". Frase yang pertama sukar diuji mutunya, setidak-tidaknya sukar diperbandingkan atau lingkupan variasi kriterianya sangat luas. Frase yang kedua lebih jelas standarnya. Untuk mempermudah mengetahui tingkat kemampuan evaluasi seseorang, item tesnya hendaklah menyebutkan kriterianya secara eksplisit. 
Mengembangkan kemampuan evaluasi penting bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mampu memberikan evaluasi tentang kebijakan mengenai kesempatan belajar, kesempatan kerja, dapat mengembangkan partisipasi serta tanggung jawabnya sebagai warga negara. Mengembangkan kemampuan evaluasi yang dilandasi pemahaman, aplikasi, analisis, 
dan sintesis akan mempertinggi mutu evaluasinya. 
Mengetes kecakapan evaluasi . 
Kecakapan evaluasi seseorang setidak-tidaknya dapat dikategorikan ke dalam enam tipe: 
  1. Dapat memberikan evaluasi tentang ketepatan suatu karya atau dokumen. 
  2. Dapat memberikan evaluasi satu sama lain antara asumsi, evidensi, dan kesimpulan, juga keajegan logika dan organisasinya. Dengan kecakapan ini diharapkan seseorang mampu mengenal bagian-bagian serta keterpaduannya. 
  3. Dapat memahami nilai serta sudut pandang yang dipakai orang dalam mengambil suatu keputusan. 
  4. Dapat mengevaluasi suatu karya dengan memperbandingkannya dengan karya lain yang relevan. 
  5. Dapat mengevaluasi suatu karya dengan menggunakan kriteria yang  telah ditetapkan. 
  6. Dapat memberikan evaluasi tentang suatu karya dengan menggunakan sejumlah kriteria yang eksplisit. 

Penilaian


Pertanyaan pokok sebelum melakukan penilaian ialah apa yang harus dinilai itu. Terhadap pertanyaan ini kita kembali kepada unsur-unsur yang terdapat dalam proses belajar-rnengajar. Ada empat unsur utama proses belajar-mengajar, yakni tujuan-bahan-rnetode dan alat serta penilaian. Tujuan sebagai arah dari proses belajar-rnengajar pada hakikatnya adalah rumusan tingkah laku yang diharapkan dapat dikuasai oleh siswa setelah menerima atau menempuh pengalaman belajarnya. Bahan adalah seperangkat pengetahuan ilmiah yang dijabarkan dari kurikulum untuk disampaikan atau dibahas dalam proses belajar mengajar agar sampai kepada tujuan yang telah ditetapkan. Metode dan alat adalah cara atau teknik yang digunakan dalam mencapai tujuan. Sedangkan penilaian adalah upaya atau tindakan untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai atau tidak. Dengan kata lain, penilaian berfungsi sebagai alat untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar siswa. 
Proses adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam mencapai tujuan pengajaran, sedangkan hasil belajar adalah kemampuan-kernampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Horward Kingsley membagi tiga macam hasil belajar, yakni (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan- pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Masing-rnasing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Sedangkan Gagne membagi lima kategori hasil belajar, yakni (a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) keterampilan motoris. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyarnin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris. 
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. 
Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. 
Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotoris, yakni (a) gerakan refleks, (b) keterampilan gerakan dasar, (c) kemampuan perseptual, (d) keharmonisan atau ketepatan, (e) gerakan keterampilan kompleks, dan (f) gerakan ekspresif dan interpretatif. 
Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Di antara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran. 

Senin, 10 Oktober 2011

Apa Lesson Study

     Lesson Study diartikan sebagai suatu model pembinaan profesi pendidik melalui kajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan, berlandaskan prinsip-prinsip kolegialitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Lesson Study  adalah suatu pendekatan peningkatan kualitas pembelajaran yang awal mulanya berasal dari Jepang. Kata atau istilah Jepang untuk ini adalah "Jugyokenkyu" (Yosida, 1999 dalam Lewis, 2002). Lesson Study ini mulai dipelajari di Amerika sejak dilaporkannya hasil Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada tahun 1996. Dalam laporan TIMMS itu siswa Jepang, punya rangking tinggi dalam matematika dan diduga salah satu faktor pendukungnya adalah Jugyokenkyu tersebut (Wang-Iverson, 2002). Orang Amerika menyebutnya sebagai Lesson Study, karena itu saya juga menyebutnya dalam bahasa Indonesia sebagai "Kaji Pembelajaran", sementara pak Istamar Syamsuri (Dekan FMIPA UM tahun 2008-2012) lebih senang memakai istilah "Studi Pembelajaran". Sampai saat ini istilah Indonesianya belum lazim dipakai karena sudah terlanjur lebih disukai penyebutan dengan istilah bahasa Inggrisnya.
     Lesson Study adalah suatu bentuk utama peningkatan kualitas pembelajaran dan pengembangan keprofesionalan guru yang dipilih oleh guru-guru Jepang. Dalam melaksanakan Lesson Study, guru-guru secara kolaboratif: 1) mempelajari kurikulum, dan merumuskan tujuan pembelajaran dan tujuan pengembangan siswanya (pengembangan kecakapan hidup); 2) merancang pembelajaran untuk mencapai tujuan tersebut; 3) melaksanakan dan mengamati suatu research lesson ("pembelajaran yang dikaji") untuk kemudian 4) melakukan refleksi untuk mendiskusikan pembelajaran yang dikaji dan menyempurnakannya, dan merencanakan pembelajaran berikutnya.
     Lesson Study telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2006 melalui Program SISTTEMS (Strangthening In-Service Teacher Training of Mathematics and Science Education at Secondary Level) yang didukung Direktorat PMPTK, DIKTI dan JICA. Lesson Study awalnya dilakukan terutama di tiga kota yaitu Sumedang, di dalam kolaborasi dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung; Bantul, kolaborasi dengan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY); dan Pasuruan, kolaborasi dengan Universitas Negeri Malang (UM). Menurut Ibrohim (2010), saat ini lesson study telah diadopsi oleh tiga direktorat, yaitu Direktorat Ketenagaan - DIKTI, Direktorat Pembinaan Diklat (Bindiklat) dan Direktorat Tenaga Pendidik (Tendik) - PMPTK. DIKTI melalui Ditnaga melaksanakan suatu program perluasan lesson study untuk LPTK di Indonesia (direncanakan 2008-2014). Dalam program ini UM, UNY dan UPI ditunjuk sebagai universitas pendamping bagi LPTK lain. Mulai tahun 2011, Program Perluasan dan Penguatan Lesson Study untuk LPTK yang dalam bahasa Inggrisnya disebut LEDIPSTI (Lesson Study Dissemination Program for Strengthening Teacher Education in Indonesia) tidak lagi di bawah Ditnaga, tetapi dialihkan di bawah pembinaan Belmawa (Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan). Sementara PMPTK sedang mengembangkan program BERMUTU (Better Education through Reformed Management and Universal Teacher Upgrading) bekerjasama dengan Bank Dunia dan Pemerintah Belanda (2008-2013) yang diterapkan di 75 kota/kabupaten dalam 16 provinsi. Selain itu program SISTTEMS yang telah berakhir pada bulan Oktober 2008, kini telah dikembangkan menjadi program baru yang diberi nama program PELITA (Program for Enchancing Quality of Junior Secondary Education) atau Program Peningkatan Kualitas Pendidikan SMP dan MTs. Program yang dilaksanakan tahun 2009-2012 memperluas daerah binaannya, yaitu selain tiga kabupaten lama di Jawa juga meliputi Kota Padang, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Banjarbaru dan Provinsi Banten. Khusus Banten mengembangkan program PSBM (Participatory School-Based Managemant).
     Menurut Styler dan Hiebert (dalam Sparks, 1999) Lesson Study adalah suatu proses kolaboratif di mana sekelompok guru mengidentifikasi suatu masalah pembelajaran, merancang suatu skenario pembelajaran (yang meliputi kegiatan mencari buku dan artikel mengenai topik yang akan dibelajarkan); membelajarkan siswa sesuai skenario (salah seorang guru melaksanakan pembelajaran sementara yang lain mengamati), mengevaluasi dan merevisi skenario pembelajaran, membelajarkan lagi skenario yang telah direvisi, mengevaluasi lagi pembelajaran dan membagikan hasilnya dengan guru-guru lain (mendiseminasikannya).

Sumber:
Materi ini merupakan bagian dari makalah yang berjudul "Reposisi dan Karakterisasi Pembelajaran Sains Melalui Lesson Study" yang disampaikan oleh Prof. Dra. Herawati Susilo, M.Sc, Ph.D dalam seminar Pendidikan Sains dengan tema "Reposisi dan Karakterisasi Pembelajaran Sains" pada tanggal 8 Oktober 2011 di Universitas Negeri Yogyakarta.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Asal Mula Dimasukkannya Pendidikan Sains di Sekolah

     Menurut George E. DeBoer (1991) sampai abad ke 18, pendidikan di sekolah di Eropa mengikuti pola klasik yand diwarisi dari zaman pertengahan. Di sekolah dasar hanya diajarkan baca, tulis dan berhitung. Di tingkat lanjut diajarkan Filsafat, Theologia, Bahasa Latin, Bahasa Yunani dan kesusasteraan klasik. Metode mengajarnya hanya membaca dan menghafal. Otoritas guru dan buku sangat tinggi. Hasil pendidikan dirasakan manfaatnya hanya untuk meningkatkan "status sosial" dan untuk bekerja di gereja. Peserta didik tidak diberi bekal untuk hidup setelah menyelesaikan pendidikannya. Pemikiran-pemikiran tentang pendidikan di Amerika Serikat pada saat itu dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran di Eropa.
     Sementara itu, sains dan teknologi berkembang dengan pesat. Banyak penemuan-penemuan baru seperti penemuan radioaktif, penemuan mesin-mesin yang banyak berguna bagi industri. Oleh karena itu para ilmuwan sains mengkritik dan mendesak agas sekolah mengajarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan siswa setelah meninggalkan sekolah. Menurut ilmuwan sains ada sejumlah masalah yang akan dihadapi manusia dalam abad 19, diantaranya masalah kemiskinan, sanitasi dan kesehatan masyarakat, pendidikan universal (unversal education), dan penanganan kriminal. Menurut mereka (para saintist) "the true purpose of education was to prepare people to deal with these socially relevant questions - to equip them for the age in which they lived. .... the world had changed in ways that required the development of independent judgement."
     Sementara itu, orang-orang yang mempertahankan model lama mengatakan bahwa: "the true purposes education were the development of one's intellectual faculties through the study of ancient classics and mathematics and the growth of personal pleasure that result of this study." Mereka melanjutkan bahwa "learning science was considered as narrowly utilitarian and debased, and aimed at the making of money through vocational and professional preparation." Motif mereka: "humanizing and would lead to feelings that were refined and generous, whereas the scientists' motive could be viewed as cross and mateialistic."
      Dari kalangan ilmuawan sains, Youmans mengatakan bahwa mempelajari sains lebih unggul dalam mengembangkan kemampuan mental (mental discipline) dibandingkan dengan mempelajari bahasa dan matematika, karena sains menyangkut lebih banyak kemampuan mental. Youmans menganjurkan agar peserta didik diberi pelajaran sains sedini mungkin. Pada taraf permulaan pelajaran hendaknya ditekankan pada pengamatan benda-benda dan hubungan sederhana antar benda-benda. Hendaknya dimulai dengan physical sciences, sedangkan biologi pada taraf berikutnya karena lebih kompleks.
     Masih dalam abad 18, Thomas Huxley (dalam DeBoer; 1991) mengatakan bahwa "the great peculiarity of scientific training, that in virtue of which it cannot be replaced by any other discipline whatsoever, is this bringing of the mind directly into contact with facts, and practicing the intellect in the completes form of induction; that is to say, in drawing conclusions from particular facts made known by immediate observation of nature. You must be careful that what he learns he knows of his own knowledge. Don't be satisfied with telling him that a magnet attracts iron. Let him see that it does; let him feel the pull of the one upon the other for himself. And, especially, tell him that his duty to doubt until he is compelled, by the absolute authority of nature, to believe that which is written is books."
     karena itu dia menganjurkan agar sekolah harus mengajarkan sains, yang pada hakekatnya adalah mempelajari dunia modern. Banyak pekerjaan yang memerlukan pengetahuan sains seperti kedokteran, rekayasa (engineering), dan juga kalau mau menjadi pejabat gereja.
      Heerbert Spencer, juga dari kalangan ilmuwan sains, mengatakan bahwa belajar sains berguna untuk pengembangan kemampuan intelektual seseorang. Belajar sains juga dapat mengembangkan moral seperti pemgembangan kemampuan berpikir mandiri, ketekunan, ketulusan dan kesdeiaan meninggalkan pendapatnya yang kemudian ternyata salah. Dalam tulisannya "What Knowledge Is of Most Worth", Spencer membahas nilai relatif tiap bidang pendidikan. Sebagai ukurannya adalah dampak suatu ilmu pada kesejahteraan hidup seseorang. Ia mengelompokkan kegiatan manusia dalam beberapa kategori diantaranya:
kegiatan memelihara diri (menjaga kesehatan); mengaus dan mendisiplinkan anak; memelihara hubungan sosial dan politik; dan kegiatan dalam waktu senggang untuk mendapatkan kepuasan. Peserta didik tidak pernah dibekali pengetahuan untuk melakukan kegiatan tersebut.

Sumber:
Materi ini merupakan sebagian dari makalah yang berjudul "Untuk Apa Kita Menyelenggarakan Pendidikan Sains di Sekolah?" yang disampaikan oleh Achmad A. Hinduan dalam Seminar Nasional Pendidikan Sains dengan tema "Reposisi dan Karakterisasi Pembelajaran Sains" pada tanggal 8 Oktober 2011 di Universitas Negeri Yogyakarta.