Tampilkan postingan dengan label Seminar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seminar. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Oktober 2011

Apa Lesson Study

     Lesson Study diartikan sebagai suatu model pembinaan profesi pendidik melalui kajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan, berlandaskan prinsip-prinsip kolegialitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Lesson Study  adalah suatu pendekatan peningkatan kualitas pembelajaran yang awal mulanya berasal dari Jepang. Kata atau istilah Jepang untuk ini adalah "Jugyokenkyu" (Yosida, 1999 dalam Lewis, 2002). Lesson Study ini mulai dipelajari di Amerika sejak dilaporkannya hasil Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada tahun 1996. Dalam laporan TIMMS itu siswa Jepang, punya rangking tinggi dalam matematika dan diduga salah satu faktor pendukungnya adalah Jugyokenkyu tersebut (Wang-Iverson, 2002). Orang Amerika menyebutnya sebagai Lesson Study, karena itu saya juga menyebutnya dalam bahasa Indonesia sebagai "Kaji Pembelajaran", sementara pak Istamar Syamsuri (Dekan FMIPA UM tahun 2008-2012) lebih senang memakai istilah "Studi Pembelajaran". Sampai saat ini istilah Indonesianya belum lazim dipakai karena sudah terlanjur lebih disukai penyebutan dengan istilah bahasa Inggrisnya.
     Lesson Study adalah suatu bentuk utama peningkatan kualitas pembelajaran dan pengembangan keprofesionalan guru yang dipilih oleh guru-guru Jepang. Dalam melaksanakan Lesson Study, guru-guru secara kolaboratif: 1) mempelajari kurikulum, dan merumuskan tujuan pembelajaran dan tujuan pengembangan siswanya (pengembangan kecakapan hidup); 2) merancang pembelajaran untuk mencapai tujuan tersebut; 3) melaksanakan dan mengamati suatu research lesson ("pembelajaran yang dikaji") untuk kemudian 4) melakukan refleksi untuk mendiskusikan pembelajaran yang dikaji dan menyempurnakannya, dan merencanakan pembelajaran berikutnya.
     Lesson Study telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2006 melalui Program SISTTEMS (Strangthening In-Service Teacher Training of Mathematics and Science Education at Secondary Level) yang didukung Direktorat PMPTK, DIKTI dan JICA. Lesson Study awalnya dilakukan terutama di tiga kota yaitu Sumedang, di dalam kolaborasi dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung; Bantul, kolaborasi dengan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY); dan Pasuruan, kolaborasi dengan Universitas Negeri Malang (UM). Menurut Ibrohim (2010), saat ini lesson study telah diadopsi oleh tiga direktorat, yaitu Direktorat Ketenagaan - DIKTI, Direktorat Pembinaan Diklat (Bindiklat) dan Direktorat Tenaga Pendidik (Tendik) - PMPTK. DIKTI melalui Ditnaga melaksanakan suatu program perluasan lesson study untuk LPTK di Indonesia (direncanakan 2008-2014). Dalam program ini UM, UNY dan UPI ditunjuk sebagai universitas pendamping bagi LPTK lain. Mulai tahun 2011, Program Perluasan dan Penguatan Lesson Study untuk LPTK yang dalam bahasa Inggrisnya disebut LEDIPSTI (Lesson Study Dissemination Program for Strengthening Teacher Education in Indonesia) tidak lagi di bawah Ditnaga, tetapi dialihkan di bawah pembinaan Belmawa (Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan). Sementara PMPTK sedang mengembangkan program BERMUTU (Better Education through Reformed Management and Universal Teacher Upgrading) bekerjasama dengan Bank Dunia dan Pemerintah Belanda (2008-2013) yang diterapkan di 75 kota/kabupaten dalam 16 provinsi. Selain itu program SISTTEMS yang telah berakhir pada bulan Oktober 2008, kini telah dikembangkan menjadi program baru yang diberi nama program PELITA (Program for Enchancing Quality of Junior Secondary Education) atau Program Peningkatan Kualitas Pendidikan SMP dan MTs. Program yang dilaksanakan tahun 2009-2012 memperluas daerah binaannya, yaitu selain tiga kabupaten lama di Jawa juga meliputi Kota Padang, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Banjarbaru dan Provinsi Banten. Khusus Banten mengembangkan program PSBM (Participatory School-Based Managemant).
     Menurut Styler dan Hiebert (dalam Sparks, 1999) Lesson Study adalah suatu proses kolaboratif di mana sekelompok guru mengidentifikasi suatu masalah pembelajaran, merancang suatu skenario pembelajaran (yang meliputi kegiatan mencari buku dan artikel mengenai topik yang akan dibelajarkan); membelajarkan siswa sesuai skenario (salah seorang guru melaksanakan pembelajaran sementara yang lain mengamati), mengevaluasi dan merevisi skenario pembelajaran, membelajarkan lagi skenario yang telah direvisi, mengevaluasi lagi pembelajaran dan membagikan hasilnya dengan guru-guru lain (mendiseminasikannya).

Sumber:
Materi ini merupakan bagian dari makalah yang berjudul "Reposisi dan Karakterisasi Pembelajaran Sains Melalui Lesson Study" yang disampaikan oleh Prof. Dra. Herawati Susilo, M.Sc, Ph.D dalam seminar Pendidikan Sains dengan tema "Reposisi dan Karakterisasi Pembelajaran Sains" pada tanggal 8 Oktober 2011 di Universitas Negeri Yogyakarta.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Asal Mula Dimasukkannya Pendidikan Sains di Sekolah

     Menurut George E. DeBoer (1991) sampai abad ke 18, pendidikan di sekolah di Eropa mengikuti pola klasik yand diwarisi dari zaman pertengahan. Di sekolah dasar hanya diajarkan baca, tulis dan berhitung. Di tingkat lanjut diajarkan Filsafat, Theologia, Bahasa Latin, Bahasa Yunani dan kesusasteraan klasik. Metode mengajarnya hanya membaca dan menghafal. Otoritas guru dan buku sangat tinggi. Hasil pendidikan dirasakan manfaatnya hanya untuk meningkatkan "status sosial" dan untuk bekerja di gereja. Peserta didik tidak diberi bekal untuk hidup setelah menyelesaikan pendidikannya. Pemikiran-pemikiran tentang pendidikan di Amerika Serikat pada saat itu dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran di Eropa.
     Sementara itu, sains dan teknologi berkembang dengan pesat. Banyak penemuan-penemuan baru seperti penemuan radioaktif, penemuan mesin-mesin yang banyak berguna bagi industri. Oleh karena itu para ilmuwan sains mengkritik dan mendesak agas sekolah mengajarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan siswa setelah meninggalkan sekolah. Menurut ilmuwan sains ada sejumlah masalah yang akan dihadapi manusia dalam abad 19, diantaranya masalah kemiskinan, sanitasi dan kesehatan masyarakat, pendidikan universal (unversal education), dan penanganan kriminal. Menurut mereka (para saintist) "the true purpose of education was to prepare people to deal with these socially relevant questions - to equip them for the age in which they lived. .... the world had changed in ways that required the development of independent judgement."
     Sementara itu, orang-orang yang mempertahankan model lama mengatakan bahwa: "the true purposes education were the development of one's intellectual faculties through the study of ancient classics and mathematics and the growth of personal pleasure that result of this study." Mereka melanjutkan bahwa "learning science was considered as narrowly utilitarian and debased, and aimed at the making of money through vocational and professional preparation." Motif mereka: "humanizing and would lead to feelings that were refined and generous, whereas the scientists' motive could be viewed as cross and mateialistic."
      Dari kalangan ilmuawan sains, Youmans mengatakan bahwa mempelajari sains lebih unggul dalam mengembangkan kemampuan mental (mental discipline) dibandingkan dengan mempelajari bahasa dan matematika, karena sains menyangkut lebih banyak kemampuan mental. Youmans menganjurkan agar peserta didik diberi pelajaran sains sedini mungkin. Pada taraf permulaan pelajaran hendaknya ditekankan pada pengamatan benda-benda dan hubungan sederhana antar benda-benda. Hendaknya dimulai dengan physical sciences, sedangkan biologi pada taraf berikutnya karena lebih kompleks.
     Masih dalam abad 18, Thomas Huxley (dalam DeBoer; 1991) mengatakan bahwa "the great peculiarity of scientific training, that in virtue of which it cannot be replaced by any other discipline whatsoever, is this bringing of the mind directly into contact with facts, and practicing the intellect in the completes form of induction; that is to say, in drawing conclusions from particular facts made known by immediate observation of nature. You must be careful that what he learns he knows of his own knowledge. Don't be satisfied with telling him that a magnet attracts iron. Let him see that it does; let him feel the pull of the one upon the other for himself. And, especially, tell him that his duty to doubt until he is compelled, by the absolute authority of nature, to believe that which is written is books."
     karena itu dia menganjurkan agar sekolah harus mengajarkan sains, yang pada hakekatnya adalah mempelajari dunia modern. Banyak pekerjaan yang memerlukan pengetahuan sains seperti kedokteran, rekayasa (engineering), dan juga kalau mau menjadi pejabat gereja.
      Heerbert Spencer, juga dari kalangan ilmuwan sains, mengatakan bahwa belajar sains berguna untuk pengembangan kemampuan intelektual seseorang. Belajar sains juga dapat mengembangkan moral seperti pemgembangan kemampuan berpikir mandiri, ketekunan, ketulusan dan kesdeiaan meninggalkan pendapatnya yang kemudian ternyata salah. Dalam tulisannya "What Knowledge Is of Most Worth", Spencer membahas nilai relatif tiap bidang pendidikan. Sebagai ukurannya adalah dampak suatu ilmu pada kesejahteraan hidup seseorang. Ia mengelompokkan kegiatan manusia dalam beberapa kategori diantaranya:
kegiatan memelihara diri (menjaga kesehatan); mengaus dan mendisiplinkan anak; memelihara hubungan sosial dan politik; dan kegiatan dalam waktu senggang untuk mendapatkan kepuasan. Peserta didik tidak pernah dibekali pengetahuan untuk melakukan kegiatan tersebut.

Sumber:
Materi ini merupakan sebagian dari makalah yang berjudul "Untuk Apa Kita Menyelenggarakan Pendidikan Sains di Sekolah?" yang disampaikan oleh Achmad A. Hinduan dalam Seminar Nasional Pendidikan Sains dengan tema "Reposisi dan Karakterisasi Pembelajaran Sains" pada tanggal 8 Oktober 2011 di Universitas Negeri Yogyakarta.